Deskripsi-Gambar

FENOMENA PUTUS SEKOLAH DI ERA PANDEMI


Libur menjadi hari yang paling ditunggu oleh setiap orang, termasuk siswa. Ingat jaman sekolah dulu, dalam setiap bulan, selalu saja meluangkan waktu menyempatkan diri untuk menghitung berapa banyak tanggal merah di kalender. Tidak jarang hitung-hitungan tanggal merah kalender dalam bulan yang sama menjadi berbeda satu dengan yang lain. Ngotot saling mengklaim. 

Walau  sebenarnya bergurau, masih menyisakan senyum tersendiri. Bagaimana tidak? “A” mengaku kalendernya lebih banyak tanggal merahnya dari “B”. Diselingi tertawa “C” menyela, bahwa dia besok akan memesan kalender yang lebih banyak lagi merahnya dibanding kelender yang sudah beredar. Gurauan tersebut intinya satu. Berharap lebih banyak waktu santai di rumah. Tidak usah ke sekolah, tidak usah masuk kerja. Hal ini karena tanggal merah adalah hari libur nasional.

Menilik cerita diatas, “omong kosong” tersebut benar-benar menjadi nyata. Meski kalender tidak harus merah, pandemi covid 19 meluluh lantakkan seluruh sektor kehidupan. Aktifitas keseharian, kerja, belajar dan ibadah wajib dikerjakan di rumah. Pemerintah  menerapkan  kebijakan social distancing (jaga jarak) untuk memutus mata rantai penularan pandemi covid 19. Yes, stay at home, di rumah, membatasi aktifitas di luar ruangan. 

Penerapan kebijakan social distancing sangat mempengaruhi setiap lini kehidupan termasuk sektor pendidikan. Pemerintah Pusat sampai daerah mengambil langkah pelaksanaan pendidikan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Metode pembelajaran jarak jauh tersebut pelaksanaannya disesuaikan dengan keberadaan dan kondisi siswa di lapangan. Proses pembelajaran dilakukan secara online atau daring. Penggunaan media elektonik yaitu handphone/smartphone menjadi alat pembelajaran yang menghubungkan guru dan siswa.

Bukan rahasia lagi, handphone/smartphone menjadi trend di kalangan dunia pendidikan. Artinya, siswa akrab dengan berbagai aplikasi penunjang yang disediakan handphone/smartphone seperti whatsapp, you tube, google classroom, google meet, dan lain-lain sebagai media penyampaian materi.

Handphone/smartphone memberikan kemudahan dalam komunikasi dan dapat meningkatkan pengetahuan penggunanya. Namun, penggunaan handphone/smartphone sebagai media penyampai materi pembelajaran merupakan masalah besar bagi siswa  ekonomi lemah. Siswa yang tidak memiliki alat elektronik tersebut terancam tidak dapat mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Hal inilah yang membuat mereka menjadi kesulitan untuk bisa mengikuti pembelajaran yang diterapkan selama pandemi covid 19.
Kesulitan ini menjadi salah satu penyebab siswa tertinggal dalam pembelajaran dibandingkan dengan teman-temannya. Mereka merasa minder dengan yang lain karena tidak memiliki akses internet untuk berpartisipasi dalam belajar virtual. Dengan kondisi ekonomi yang sulit, keluarga harus berpikir keras dan berusaha semaksimal mungkin agar pendidikan anak tidak terganggu.

Permasalahan diatas menjadi permasalahan serius. Pada Desember 2020, UNICEF menemukan bahwa 938  anak di  Indonesia putus sekolah akibat pandemi covid 19. Bahkan, 75%                                di antaranya tak bisa melanjutkan sekolahnya. Hal ini disampaikan Perwakilan UNICEF              Indonesia, Debora  Comini,  dalam peluncuran Strategis Nasional Penanganan Anak Tidak Sekolah. Hal yang sama juga  diungkapkan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti. Menurutnya,  berdasarkan data KPAI sejak awal pandemi covid 19 hingga Februari 2021 sudah lebih dari 150 anak putus sekolah karena menikah dan bekerja. (https://news.detik.com/berita/d-5482997/murid-putus-sekolah-karena-pandemi-covid-19-menikah-dan-bekerja)

Permasalahan dari dampak pandemi covid 19 pada sektor ekonomi berakibat pada sektor pendidikan.  Orang tua dengan terpaksa mengajak anaknya bekerja serabutan karena tidak memiliki pilihan. Bahkan orang tua yang mengalami kesulitan mencari nafkah selama pandemi karena aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dengan berat hati menikahkan anak mereka dengan orang yang mampu menopang anaknya secara ekonomi. 

Beberapa kasus pernikahan dini juga disebabkan karena orang tua tidak ingin anak mereka berzina. Tidak adanya kewajiban pergi bersekolah, membuat anak lebih banyak berpacaran. Ada juga kasus pernikan dini yang disebabkan keinginan dari anak itu sendiri (Callistasia Wijaya, BBC News-Indonesia, 25 Agustus 2020).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan betapa pandemi Covid-19 menimbulkan dampak negatif yang luar biasa bagi kelangsungan pendidikan anak. Padahal kita menyadari bahwa pendidikan adalah penting bagi keberhasilan hidup anak di masa mendatang. Dibutuhkan kesadaran orang tua untuk memotivasi putra-putri mereka agar tetap terus bersekolah. Selain itu, kebijakan dari pemangku kebijakan dan pelaksana pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif sangat diharapkan dalam mengatasi kendala pembelajaran yang ada. Tekad mencetak generasi yang handal,mampu bersaing di era global, perlu dibulatkan. (Didik Subagyo, Sumenep 10 Maret 2021) 

 


 

Post a Comment

أحدث أقدم