Deskripsi-Gambar

Cerpen Catatan Harian Ibu Guru Nadia


Catatan Harian Ibu Guru Nadia: TERIMAKASIH 
Oleh: EKAN

Ada dua rasa yang mengganggu hati dan pikiranku,  kecewa... dan bangga. Kecewa karena aku diberi tugas tambahan menjadi wali kelas 7-G. Bangga, karena untuk menjadi wali kelas 7-G dibutuhkan guru dengan performa luar biasa, terutama kesabaran tingkat dewa. "Kelas ini dijuluki kelas "kutukan". Mengapa saya yang ditunjuk Bapak Kepala Sekolah??

Setiap tahunnya tanpa direncanakan selalu terdiri dari anak-anak dengan "keunikan" di atas rata-rata. Namun, Kepala Sekolah sering menyampaikan kepada kami, sebenarnya tidak ada anak bodoh, tidak ada anak nakal.. yang ada hanya anak-anak yang belum mengetahui, belum paham, belum mendapat hidayah tentang berbagai hal, entah itu kecerdasan, kedewasaan, akhlaqul karimah, pengendalian emosi, kemampuan bersosialisasi yang baik, dll.

Diantara permasalahan anak-anakku, begitu aku menyebut mereka, seorang siswa membuatku begitu penasaran. Anaknya sedikit pendiam, tidak clometan, mengkuti pelajaran dengan baik meskipun kemampuannya standar saja. Wajahnya bersih dan boleh dikategorikan cukup tampan. Perawakannya sedang. Matanya lembut. Yang menjadi istimewa adalah bajunya begitu Kumal. Seragam barunya dalam tempo satu bulan, sudah nampak "mbladus" seperti jarang dicuci. Pergi sekolah seperti tidak mandi. Rambutnya kotor lengket bercampur debu. Dan yang memprihatinkan, makin hari makin berkurang kehadirannya ke sekolah. Hingga dalam bulan ke dua, hanya dua hari dalam seminggu rata-rata kehadiran siswa tesebut. Ku usap dadaku yang sesak jika mengingat masalah ini.

Langkah awal yang kuambil adalah mengumpulkan data dari berbagai pihak, bekerjasama dengan guru BK. Anak itu sendiri jika ditanya, selalu menggunakan jurus "si bisu", diam seribu bahasa. Dibujuk, diajak ngobrol santai, disampaikan peraturan sekolah, dipancing... Tak bergeming. Sedikit informasi dari teman, anak ini jarang pulang ke rumah. Ia tidur dimana saja. Jika dia masuk sekolah hari itu, pulangnya pasti akan dihabiskan dengan bermain game bareng gengnya hingga malam berakhir. Tetap dengan seragam sekolahnya. Kadang tidur di play station, kadang tidur di teras rumah teman, kadang tidur di warung dimana dia begadang main game dengan hp. Demikian informasi yang diperoleh. (Mohon maaf, penyakit remaja milenial "main game" tak hendak ku bahas di sini. Nampak sekali, sedemikian kacau kehidupannya.

Singkat cerita, dari sedikit data tersebut, aku bersama guru BK berkunjung ke rumahnya. Kosong, meskipun pintunya terbuka. Seorang tetangga yang lewat membantu kami mencari anak tersebut. Dia masuk ke rumah, berkeliling sambil memanggil-manggil nama anak tersebut. Hasilnya nihil. Akhirnya kami dipertemukan dengan budhenya yang tinggal di sebelah timur rumah tersebut. Dari budhenya kami mendapatkan gambaran komplit yang melatar belakangi perilaku anti mainstreamnya.

"Siful" panggilan anak itu, kedua orang tuanya bercerai saat ia berusia lima tahun. Ibunya merantau ke Jakarta bekerja sebagai penjaga toko kelontong dan akhirnya si ibu menikah lagi. Siful tingggal dengan kakak laki-laki dan ayahnya di rumah tradisional yang kecil dan sederhana. Temboknya sudah  rompal sana sini, cat putihnya sudah blur. Beberapa bagian plafon berwarna hijau, berjamur bekas tetesan hujan. Lantai berdebu jarang disapu. 

Menginjak kelas III SD, ayahnya menikah lagi dan punya kehidupan baru dengan istri dan dua orang anak di desa lain. Tinggallah Siful dengan kakaknya di rumah tersebut. Segala biaya kehidupan kedua anak tersebut ditanggung oleh budhe mereka dengan segala kekurangannya. Jadilah Siful anak yang benar-benar kurang kasih sayang, kurang perhatian...
Sungguh membuat hati ku nelangsa sekali... 

Adalah sesuatu yang tidak benar jika kami menjadikan kondisi mengenaskan ini menjadi permakluman Siful tidak masuk sekolah. Waktu demi waktu, kami.. aku, guru BK, Waka urusan kesiswaan, atau guru mapel lain yang punya waktu.. bergiliran mengunjungi Siful, berfiliran menjemput, bergiliran memotivasi, memberi perhatian, memberikan pemahaman tentang beragam permasalahan kehidupan yang harus dihadapi manusia. Ada yang dimulai ketika manusia masih bayi, masih anak-anak, atau sudah dewasa. Betapa kami ingin menanamkan kepada Siful bahwa Allah ingin Siful menjadi bijaksana dan dewasa sejak di usia awal, Allah ingin Siful lebih dekat dengan Allah... Dan kami semua menyayangi dia. Kami ingin Siful sukses menjadi anak Sholeh, bisa hidup mandiri dengan jalan yang benar. 

Kami ingin menyampaikan bahwa pendidikan itu penting. Kami ingin membantunya memiliki aqidah, Akhlakul Karimah. Pendidikan membantunya memiliki kemampuan membedakan baik buruk, melatih otak berpikir jauh ke depan, melatih otak dan rasa menemukan solusi untuk setiap kesulitan hidup...

Tak terasa, saat ini dia sudah kelas IX. Penampilannya tetap kalem. Aku selalu memberikan acungan 2 jempol saat berpapasan di sekolah. Yang lebih membahagiakan kami adalah dia tak pernah lagi absen datang ke sekolah, bajunya bersih, dan mata itu.. tetap lembut namun sekarang berbinar seperti matahari. Seolah berkata "Terimakasih ... Aku siap menjadi manusia Super, Bapak Ibu Guruku...

Aku pun ingin berpesan melalui tulisan ini... Kepada anak-anakku generasi penerus kehidupan, kelak jika engkau menjadi orang tua, "Perceraian dibolehkan Allah, namun amat dibenci Allah dan jika itu terjadi..anak-anakmu adalah korban yang paling menderita."

Post a Comment

أحدث أقدم