Deskripsi-Gambar

Cerpen Tamar Saraseh, S.Pd


Pilihan Hati
Oleh : Tamar Saraseh

Setelah menampung beberapa saran para soheb, mengkaji ulang  sumbangan ide beberapa kawan karib, mempertimbangkan laba-ruginya dengan tolok ukur prinsip religius, efisiensi, efektivitas, etika, dan estetika, maka kubulatkan tekadku untuk menjadi ….Abang Becak. 

Sekarang aku sedang berada di depan Rumah Sakit Umum Sumenep, menanti calon penumpang. Menurut  beberapa pengamat lingkungan  yang sama-sama tak mau disebut namanya,  Sumenep adalah kota kecil yang paling banyak tikusnya. Bukan tikus biasa, tapi tikus wirog ukuran besar. Mereka kadang menyeberang begitu saja di depan becakku tanpa toleh kanan-kiri. Sebagai abang becak yang baik, hal begini harus kuperhatikan betul demi keselamatan penumpang.

“He, mentang-mentang tikus, ya? “ Maksudku karena memang tidak mungkin polisi menuntut seekor tikus bila terjadi kecelakaan lalu lintas. Tapi sekarang aku tak mau bicara soal tikus. Aku mau fokus perhatianku mencari penumpang. Tadi itu begitu saja tikus menyelinap dalam pikiranku ketika aku menyebut nama kotaku. Mungkin karena antara tikus dan kotaku sudah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ah, sudahlah, aku mau cari penumpang.

“Mas..becak ,Mas..!” tawarku pada seorang lelaki muda yang lewat.

“Punya juga di rumah.” jawabnya pendek.

O..begitu?  Ya, sudah. Punya juga di rumah, katanya. Bisa juga bercanda orang itu. Mungkin hari panas begini menurutnya bisa lebih sejuk jika dibawa bercanda.  Okelah!   Sebagai abang becak yang baik aku harus sabar. Tidak boleh terpancing emosi hanya oleh sebab-sebab kecil. Dan seharusnya memang aku tidak boleh memaksa orang untuk naik becakku. Pun  semestinya aku punya kepekaan siapa orang yang butuh naik becak atau tidak, cukup dengan  melihat matanya. Lebih dari itu, seyogyanya aku tahu mana orang yang harus kuperioritaskan  naik becakku dan mana yang harus kutolak dengan halus jika itu terjadi dalam satu waktu. Misalnya antara orang yang memburu waktu sholat dengan orang yang mengejar istri orang untuk kepentingan selingkuh.

Tapi sebagai abang becak yang baru berkiprah, kepekaan begitu belum kupunyai betul. Apa lagi kepekaan menaksir ramai tidaknya penumpang setiap hari.  Menurut perkiraanku, penumpang akan ramai sekarang. Tapi ternyata  perkiraanku salah. Dari pagi tadi belum seorang  pun mau duduk di becakku. (Duduk saja tidak mau, apa lagi suruh berdiri). Tapi aku senang karena aku jadi tak terlalu capek. Sebagai abang becak yang beragama, aku harus mensyukuri segala ketentuan Allah yang sebaik-baik Pemberi Rizki. Bagaimanapun keadaanku saat ini, inilah keadaan terbaik bagiku menurut Allah. Subhanallah, Allah Maha Sempurna, tak pernah salah dan keliru menetapkan seseorang pada takdirNya. O..ini dia barangkali. 

Ada dua orang wanita tergopoh-gopoh keluar dari pintu exit rumah sakit. Mukanya merah padam. Mungkin sedang ada masalah dengan pihak rumah sakit. Memang ini sering sekali terjadi. Konon di rumah sakit ini banyak sekali tikus, seperti juga di tempat-tempat lainnya di kotaku ini. Kabarnya ada pasien yang dihisap darahnya sampai mati. Banyak juga pasien yang digigit pantatnya sampai kempes. Jadi jangan heran kalau lihat mereka yang keluar-masuk lokasi rumah sakit ini selalu meraba-raba pantatnya sendiri, terutama sebelah kanan, dimana biasanya dompet mereka disimpan. Mereka takut tiba-tiba pantatnya cuil.

“Rumah sakit gila!” umpat  yang lebih tua  ketus. “Bukan, Bak! Ini Rumah Sakit Umum. Mbak mau ke Rumah Sakit Jiwa?” tanyaku antusias.

“Bodoh kamu!”

Lho! Kok jadi begini? Ya sudah, aku juga yang salah, nggak peka lihat wajah orang lagi punya masalah. Nah ini dia barangkali.O ya benar, pakai jilbab lebar! ”Assalamu alaikum ….! Mau diantar kemana , Non?”  

“Berapa ke apotik Diana?”

“Terserah Non aja berapa .“

“Lho, jangan begitu ! Ayo cepet bilang berapa? Kesusu nih.!”

“Kalau kesusu, jangan repot soal harga, Non. Naik sajalah..”     

“Ndak ! Harus ada ijab qabul.”

“Ana kan sudah bilang, terserah anti mau bayar berapa. Berarti ana sedang belajar menerima apa adanya sesuai yang ditetapkan Allah Subhanahu Wataala buat ana. Kok ndak percaya?”

“Ya, jelas. Mana ada orang sekarang bisa dipercaya.!”  

“Ana bukan orang sekarang, Non. Ana sudah lahir 25 tahun yang lalu.”

Cerewet juga ini cewek. Sudah  ucapan salamku tidak dijawab. Memangnya tidak boleh tukang becak mendo’akan keselamatan penumpangnya? Apa lagi penumpang yang khusus.

“Hayo, berapa?”

“Seribu perak.”

“Lho kok murah banget? Pasti karena cewek ya?” dia menyelidik dari atas rambut sampai ujung kakiku. Sekilas. Ya jelas tak mungkin mengenali siapa aku. Aku pakai topi besar, kaca mata coklat besar, sapu tangan menutup hidung sampai dagu. Pakai kaos lengan panjang, sarung tangan, celana panjang dan sepatu kets. Kayak ninja.

“Ingat, ya, ana bukan cewek sembarangan! Tak bisa dipancing-pancing dengan harga murah. Ingat itu! Jangan macam-macam sama ana!”

Masya Allah..! Ternyata pertapaan dalam bentuk begini tidak mudah. Tapi sebagai abang becak yang baik aku malah senang mendapat penumpang begini.

“Sekarang, terserah Non aja. Naik oke, nggak naik no problem .” kataku dengan selembut mungkin.

Akhirul kalam dia naik juga. Ini seandainya lho, seandainya dia jadi istriku nanti   dan secerewet ini, oh betapa kasihan anak keturunanku nanti. Pasti mereka kurus-kurus. Padahal  mungkin betul dia anak pondokan, dan pakai jilbab lagi,kok cerewet ya? Tapi kan belum pasti; karena syar’i atau mode. Tapi memilih mode yang syar’i  kan suatu bentuk pilihan yang berdasar kecerdasan juga.

“Kalau ada orang ngasih salam, wajib dijawab..”protesku.

“Ya, kalau niatnya tidak berolok-olok!” sanggahnya.

“Niat kan ada di kedalaman hati. Siapa tahu? Apa tukang becak tidak  boleh mendo’akan keselamatan terhadap penumpangnya?”

“Wa alaikum salam..” dia menoleh.

Kenapa? Aneh? Curiga? Wajar saja curiga, sekarang jamannya tikus berbulu merpati. Tapi, terus terang, sikap full waspada seperti ini amat sangat diperlukan untuk jaman begini rupa.Apa lagi dia wanita. Tadi juga cerewetnya memang beralasan; mung-kin  karena tak mau merugikan orang lain tapi juga tidak mau tertipu.

“Kok keluar sendiri? Kan mestinya muslimah harus dengan muhrimnya?”pancingku.
“Daruroh.”

O.

“Nah, turun di sini. Anta boleh menunggu atau cari penumpang lain. Ana mungkin agak lama. Nih, syukron katsiro!” dia mengangsurkan selembar lima ribuan... 

Eh, ternyata ramah juga. Aku cari uang di kas becak untuk kembaliannya. Kosong.

“Jangan, ndak usah!”

“Lho, perjanjiannya kan seribu perak? Ana tidak mau makan  uang haram!”

“Nggak, ana ikhlas kok!“

Ah, kupikir tidak ada gunanya mendebat dia. Nanti malah seperti perempuan. Lebih baik aku menunggunya, eh, menantinya saja di sini. Ternyata tidak lama. Kenapa dia bilang mungkin lama?  Munngkin dia lebih suka  aku tidak menantinya? Atau memang dia sangat hati-hati terhadap sesuatu yang dia tidak tahu pasti? Bagus juga kalau begitu.

“O..menunggu,ya? Memang ingin menunggu atau karena tidak ada penumpang?” pancingnya.

“Karena tidak ada penumpang. Karena ingin membayar hutang, dan  karena belum tentu ada tukang becak yang lebih hati-hati menjaga keselamatan penumpangnya ketimbang aku. Puas?”

“Alhamdulillaah! Segala puji hanya momerasa bersalah.

“Maaf untuk pertanyaan yang terakhir,” kataku sebagai ralat.

“Tidak apa. Sebetulnya aku hampir bertunangan. Tapi…”

“Kenapa? Bukan pilihan hati sendiri?” pancingku. Wah, kami mulai akrab nih.

“Bukan begitu. Tapi Abi  dan pihak keluarganya minta kami langsung nikah syar,e.Aku ragu. Aku belum mengenal betul  siapa dia. Memang pertunangan itu hasil inisiatif sesama  orang tua. Tapi bukan itu masalah pokoknya. Aku takut dianya terpaksa..”

“Nikah Syar’e itu apa?” ini betul-betul istilah asing bagiku. Yang kutahu nikah,ya nikah.

“Ya, nikah sekedar memenuhi syar’i. Ada dua calon penganten,ada wali, ada beberapa saksi. Ada maskawin, ada ijab qabul, cukup. Artinya jika mau ada  syukurannya, menyusul.”
“Kerjanya di apa?” kejarku.

“Dia wira swastawan muda yang  agamis tapi tetap enerjik. Dia sarjana menejemen. Dia punya butik khusus busana muslim dan muslimah. Bagi ana sih dia kerja apa sebe-tulnya  itu nomor sekian. Yang penting dia taqwa, jujur dan penuh tanggung jawab. Kabarnya sih alim banget. Setelah tahu begitu ana menyesal tidak cepat-cepat mau. Stop,stop!”

E.., sudah sampai. Sayang sekali! Tapi cukuplah. Dia memberi selembar sepuluh ribuan.

“Kok banyak banget?”

“Harga yang murah untuk sebuah rasa aman,”jawabnya.

Ya sudahlah, terserah nanti. Ini  sudah malam. Aku pulang saja. Tapi sebelumnya aku harus mengembalikan becak ini pada si empunya. Dan bayar sewa selama dua hari dua malam. Ganti pakaian yang rapih, baru boleh masuk rumah. Ya, karena satu dan lain hal maka menuntutku begitu.

“Astaghfirullaahal Adziimm…! Mahmudzii, dari mana saja kau? Abinya Aisyah, calon mertuamu, sakit. Kau malah menghilang-hilang. Jangankan membantunya, membezuknya aja kau tidak. Aisyah mengurus ini itunya sendirian. Ah, kau ini calon mantu bagaimana…”

“Tapi ana sudah membantunya ,Mi..!”

“Membantu apanya. Kutanya Aisyah  dia bilang tak ada kau nongol-nongol..”

“Mi, bukankah Aisyah belum apa-apaku? Lagi pula keluarganya sangat disiplin memegang syareah agama. Tapi  sungguh Mi, ana sudah mengantarnya beli obat ke apotik, ngantar beli keperluannya ke toko.O..ya, Mi, kalau Ummi sama Abi mau ke sana  besok pagi, ana titip sisa uang ongkos becak Katakan saja dari abang  becak yang tadi malam, gitu..”

Ummi bingung. Tapi akhirnya geleng-geleng kepala sambil senyum. Perjuangan ini memang rada serem juga. Hampir saja bentrok sama tukang becak beneran. Tapi untunglah tidak sia-sia. Aku jadi mantap untuk menikahi Aisyah. Ya Rabb..Bimbinglah kami  ke dalam rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rohmah… Amien….!! 
**

Sumenep 19-8-04

Biodata pengarang Te Ras = Tamar Saraseh, lahir di Sumenep 1966. Menulis cerpen, cergam, melukis. Cergamnya “Si Cantik dalam Bahaya” meraih juara 1 Dikdasmen Depdiknas 2004. Cerpennya “Musim Badai” meraih juara 3 Dikdasmen Depdiknas 2004. Tiggal di  Rt 12, Rw 3 Desa Saroka, Saronggi, Sumenep, Madura, 69467.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama