TITIP RINDU BUAT PTM
Saat pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama berbulan-bulan efektif diberlakukan di sekolah kami karena pandemi Covid 19. Sebagian besar guru, siswa, orang tua siswa menanyakan “Kapan belajar di sekolah lagi?” Jawaban diplomatis selaku pimpinan satuan pendidikan adalah menunggu kebijakan pemerintah daerah. Dilanjutkan dengan menyampaikan alasan logis mengapa sekolah masih dilarang melaksanakan pembelajaran tatap muka atau yang biasa dikenal dengan nama PTM.
Bagi sebagian kecil sekolah, pembelajaran PJJ mungkin tidak menimbulkan permasalahan berarti. Pembelajaran dapat berlangsung lancar sebagaimana saat kondisi normal atau sebelum pandemi terjadi. Namun, bagi kami sekolah pinggiran, PJJ memunculkan serangkaian kendala atau permasalahan dengan solusi berekor.
Beberapa permasalahan PJJ di sekolah kami dapat bersumber baik dari siswa maupun guru. Permasalahan pertama terkait dengan masalah tingkat ekonomi orang tua siswa. Perlu diperjelas sebelumnya bahwa stereotipe perekonomian orang tua siswa sekolah pinggiran adalah memiliki tingkat perekonomian (penghasilan) menengah ke bawah. Sedangkan kita mengetahui bahwa pelaksanaan PJJ membutuhkan pengeluaran ekstra. Oleh sebab itu, permasalahan yang terjadi tidak lepas dari masalah tambahan biaya pengeluaran tersebut.
Dapat digambarkan di sini, pelaksanaan PJJ membutuhkan gawai. Artinya, siswa harus memiliki gawai dengan spesifikasi tertentu. Sebagai contoh, Handphone (HP) yang digunakan harus android dengan spesifikasi tertentu. Jika tidak memiliki HP dengan ketentuan tersebut, siswa tidak akan dapat mengikuti PJJ.
Permasalahan berikutnya adalah kemampuan membeli paket data yang rendah. Siswa memiliki HP atau mampu membeli HP meskipun bekas, tetapi bagaimana dengan paket data yang harus mereka beli agar dapat terhubung dengan PJJ. Permasalahan ini juga menjadi penyebab siswa tidak dapat aktif mengikuti PJJ.
Selanjutnya, saat HP dimiliki, paket data terbeli, muncul permasalahan lainnya. Sebagian besar siswa bertempat tinggal di daerah pedesaan dengan sinyal yang sulit dijangkau. Untuk dapat mengikuti PJJ mereka harus dapat menemukan suatu lokasi yang tepat agar dapat mengakses sinyal dengan baik. Kondisi ini menyulitkan siswa mengikuti PJJ.
Berikutnya, permasalahan yang tak kalah penting adalah fungsi kontrol guru terhadap siswa yang tidak berjalan dengan baik. Banyak orang tua siswa mengeluhkan bahwa anaknya hanya bermain game saja seharian. Mereka mengalami kesulitan mengarahkan putra-putri mereka untuk fokus mengikuti PJJ. Bahkan saking putus asanya, ada orang tua yang memindahkan putra atau putrinya ke pondok pesantren dengan alasan di pondok pembelajaran berlangsung normal (PTM).
Dalam upaya mengatasi permasalahan yang ada, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat kebijakan yang bagus dengan membagikan paket data gratis disertai beragam aplikasi pembelajaran. Namun, dikarenakan beberapa kondisi sebagaimana dijelaskan di atas, maka berakibat tidak dapat dimanfaatkannya paket tersebut dengan maksimal.
Yang terakhir adalah alasan yang disampaikan oleh para guru bahwa bagaimanapun PTM tetap lebih baik. Argumen pertama adalah materi tersampaikan dengan nyaman karena terjadi interaksi antara guru dan siswa. Siswa memiliki kesempatan luas menanyakan secara langsung dan mendapat penjelasan detil tentang materi pelajaran.
Hal ini sejalan dengan pendapat Lukman, pengamat pendidikan dari Universitas Brawijaya, bahwa pembelajaran terbaik adalah bertatap muka dan berinteraksi dengan guru dan teman-teman. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara maju seperti Amerika (Bisnis.com, 02 Mei 2020).
Di sekolah (pinggiran) kami, jumlah siswa dengan kendala terkait kepemilikan gawai, kemampuan membeli paket data, dan akses sinyal yang tidak terjangkau adalah cukup signifikan dibanding siswa dengan dedikasi belajar yang kuat disertai kemampuan memenuhi syarat kebutuhan mengikuti PJJ. Dengan demikian PTM menjadi alternatif yang lebih efisien.
Alasan kedua, siswa dapat lebih fokus dalam mengikuti pembelajaran. Siswa berkumpul di ruang kelas dan ada guru yang mendampingi. Siswa disiplin mengikuti ritme pembelajaran dengan kurun waktu tertentu. Ada jadwal pelajaran dengan ketentuan waktu yang jelas.
Alasan ketiga, pelaksanaan PTM memungkinkan guru menggunakan strategi dan media pembelajaran yang variatif. Strategi yang beragam dapat diterapkan dengan mudah karena guru dan siswa berada dalam satu ruangan. Media pembelajaran dalam PTM juga lebih beragam. Siswa dan guru dapat menyentuh dan menggunakan media secara langsung. Sedangkan PJJ, pelaksanaan pembelajarannya cenderung menggunakan media pembelajaran berupa aplikasi. Siswa melihat media yang diperagakan dalam gambar statis ataupun bergerak, atau dipegang oleh guru dalam suatu pembelajaran virtual.
Alasan keempat, pelaksanaan penilaian dapat lebih objektif dan bersifat holistik. Kecenderungan siswa berbuat curang, seperti ngerpek atau mencontek jawaban teman saat Penilaian Harian atau jenis penilaian lainnya. Mengerjakan tugas atau mengerjakan ujian dengan copy paste jawaban teman dapat diminimalkan. Nilai diambil tidak hanya berdasarkan hasil, namun proses saat siswa sedang melakukan suatu kegiatan pembelajaran dapat diamati langsung oleg guru.
Alasan terakhir, guru dapat memantau sekaligus mengarahkan perilaku yang tidak baik selama berada di kelas maupun di luar kelas. Disampaikan oleh seorang siswa SMA di TribunTV, sebuah kritik tentang pembelajaran online (PJJ). Siswa tersebut menyampaikan bahwa kehadiran sosok guru sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran karena guru memiliki rasa yang mampu membentuk karakter luhur manusia (https://medan. tribunnews.com/2020/08/09). Dari sini kita dapat menilai bahwa kehadiran guru di sekolah wajib hukumnya karena kecanggihan digital tidak dapat menggantikan sosok guru.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka dapat diketahui alasan mengapa pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) lebih mendapat respon positif masyarakat. Tentunya, untuk dapat memenuhi keinginan masyarakat tersebut, segala ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah harus telah dipenuhi oleh pihak sekolah.
Setelah semua kondisi terpenuhi maka dalam pelaksanaannya, PTM harus senantiasa menaati protokol kesehatan melalui kontrol yang berkesinambungan dan saksama. Seperti dilakukannya penyemprotan disinfektan secara berkala seluruh ruangan sekolah, dilakukannya pengecekan suhu siswa dan guru dengan termo gun saat memasuki sekolah, siswa masuk bergiliran berdasaran nomor absen, selalu menjaga jarak sosial, istirahat di dalam kelas dengan diawasi guru, siswa dan guru membawa bekal, selalu memakai masker, mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun, lama jam pelajaran yang diperpendek, adanya tanda arah alur kedatangan dan arah pulang siswa siswa, dll.
Jika penulis mengajukan pertanyaan secara informal kepada beberapa siswa, lebih suka PTM atau PJJ, maka akan ada dua (2) versi jawaban berbeda. Sebagian besar siswa akan menjawab lebih suka PTM. “Saya kangen PTM, Bu”. Alasannya beragam, bisa mendapatkan penjelasan langsung dari guru, nilai yang diperoleh lebih jujur, bisa bertemu teman dan guru sehingga tidak bosan, dll. Sedangkan sebagian kecil siswa menjawab, lebih suka PJJ. “Saya bisa bebas bermain game dengan alasan sedang PJJ. Orang tua saya nggak paham apa yang saya tonton di HP, Bu.” Penulis yakin, pembaca dapat menarik kesimpulan dari dua jenis jawaban siswa tersebut (evakartika).
Posting Komentar