Deskripsi-Gambar

Carut-marut PPDB di Tengah Pandemi Covid-19


Alinea.id
CARUT MARUT PPDB DI TENGAH PANDEMI COVID-19

Rasa kecewa menyelimuti hati siswa kelas 6, 9, dan 12 menjelang tanggal pelulusan. Hal ini tidak berbanding lurus dengan keinginan siswa untuk bisa merasakan momen perpisahan dengan kesan mendalam. Hantaman virus Covid-19 yang belum mereda, bahkan saat ini trennya kembali naik, menyebabkan kondisi tersebut terjadi. Tidak berbeda jauh dengan perpisahan pelulusan yang cenderung “sunyi-senyap”, kegiatan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) online tahun ini pun nyaris tanpa gaung. Segala hal yang berkaitan dengan kegiatan PPDB dilaksanakan secara daring atau online. 

Covid-19 masih membelenggu membatasi ruang gerak hampir di segenap aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Dalam kondisi yang serba terbatas dikarenakan pemberlakuan physical distancing, muncul kekhawatiran akankah persoalan klasik terkait PPDB online kembali menyeruak ditengah masyarakat. 

Penulis masih ingat sistem zonasi diberlakukan sejak tahun ajaran 2017/2018,  yang mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Target sistem zonasi sebenarnya adalah positif, mengubah paradigma dimana “siswa dengan kompetensi terbaik” tidak perlu mencari “sekolah terbaik” yang berlokasi jauh dari tempat tinggalnya (http://www.rumah.com, 17/12/2020).

Ketentuan tersebut menimbulkan kekecewaan orang tua maupun siswa, dengan predikat “siswa terbaik”, disebabkan tidak diterima di sekolah favorit yang diharapkan. Justru siswa dengan kompetensi “kurang baik” dapat diterima di suatu sekolah ”terbaik” karena faktor kedekatan domisili siswa dengan sekolah tersebut. Sistem ini memang memungkinkan siswa dengan domisili terdekat dengan “sekolah terbaik/favorit” lah yang memiliki peluang besar diterima di sekolah tersebut, sistem secara otomatis mengaturnya. Protes orang tua siswa bermunculan di sejumlah daerah di Indonesia saat awal penerapan sistem zonasi (hhtp://www.kompas.tv, 26/6/2020).

Orang tua calon peserta didik baru berpendapat bahwa sistem zonasi dirasa tidak adil.  Siswa yang tinggal di dekat sekolah dengan fasilitas baik dan memadai memiliki kemungkinan lolos diterima di sekolah tersebut karena kedekatan jarak rumah dengan sekolah, meskipun dengan nilai akademik seadanya. Mereka tetap memiliki peluang lolos lebih besar dibandingkan dengan calon siswa yang memiliki nilai prestasi akademik yang lebih baik dengan jarak rumah yang jauh dari sekolah.

Seakan melengkapi permasalahan PPDB, sistem online masih menjadi permasalahan di beberapa daerah di Indonesia. Sistem PPDB online sebenarnya sudah dilaksanakan sejak tahun 2012 ,terutama kota-kota besar, jauh sebelum sistem zonasi diterapkan. Namun bersamaan dengan adanya serangan Covid-19, sebagian besar sekolah di Indonesia akhirnya menerapkan sistem pendaftaran siswa baru secara online. Selain efektif dan efisien, penyebaran Covid-19 menjadi pertimbangan utama. Pendaftaran online dipertimbangkan membantu mencegah penyebaran Covid.

Permasalahan yang kemungkinan masih terjadi dalam sistem PPDB online adalah kebingungan orang tua menggunakan perangkat IT. Tidak sedikit orang tua yang benar-benar gagap teknologi. Mereka menjadi semakin gelagapan ditengah pandemi Covid-19.  Mereka tidak mengerti cara pendaftaran PPDB online. Kendala lain yang dialami orang tua dan siswa adalah mereka kesulitan mengakses internet dan kesulitan menginput dokumen persyaratan PPDB sesuai jalur yang dipilih.

Belum selesai dengan permasalahan zonasi dan PPDB online, utamanya sekolah pinggiran harus bekerja ekstra keras mempromosikan sekolahnya untuk bisa menjaring peserta didik baru. Hal ini dikarenakan banyak orang tua siswa yang mulai melirik sekolah swasta dan pondok pesantren sebagai sekolah tempat putra-putri mereka melanjutkan studinya. 

Alasannya adalah sekolah tersebut memberikan keleluasaan bagi calon peserta didik baru untuk bisa masuk menjadi siswa baru disana dengan fasilitas asrama. Artinya, mereka berharap putra-putri mereka dapat belajar dengan proses pembelajaran tatap muka normal tanpa HP atau menerapkan pembelajaran tanpa bergiliran sesuai nomor urut siswa. Tentu kondisi tersebut berbeda 180⁰ dengan sekolah konvensional, yang melaksanakan sistem pembelajaran “new normal” sesuai dengan aturan pemerintah. Alasan lainnya memilih sekolah berasrama adalah putra-putri mereka terlindungi dari paparan Covid karena siswa tinggal di asrama sehingga tidak berinteraksi dengan orang luar.
 
Menghadapi permasalahan di atas, penulis berpendapat bahwa setiap kendala pasti ada solusinya. Untuk permasalahan zonasi, kita dapat menemukan bahwa masyrakat sudah mulai memahami dan menemukan jalan keluar atas permasalahan yang mereka hadapi. Pemerintah mengeluarkan peraturan yang memberi peluang siswa berprestasi untuk dapat di terima di sekolah yang mereka harapkan melalui jalur prestasi. Disinilah permasalahan mereka terakomodasi. Saat ini, semakin jarang kita temukan protes-protes orang tua karena putra atau putri mereka tidak diterima di sekolah”favorit”.

Selanjutnya untuk permasalahan PPDB online, sekolah menyiasati dengan membantu orang tua melaksanakan pendaftaran online. Orang tua diberi kemudahan dengan cukup membawa berkas pendaftaran dan panitia PPDB akan membantu mendaftarkan calon peserta didik baru secara online. Ini adalah salah satu bentuk pelayanan prima bagi orang tua dan calon peserta didik. Bantuan juga diberikan oleh sekolah asal siswa tersebut menempuh pendidikannya. Misalnya, siswa lulusan SD dibantu wali kelas 6 mendaftarkan diri di SMP yang dituju secara online. 

Di tengah pandemi Corona saat ini, kendala tersulit dihadapi sekolah yang tak berasrama. Sebagaimana dijelaskan di atas, ada kecenderungan orang tua menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah berasrama atau Pondok Pesantren. Kondisi tersebut menuntut sekolah tak berasrama baik yang berlokasi di kota maupun di pinggiran untuk mampu berpikir kreatif  dan inovatif menemukan jalan keluar. Salah satunya adalah dengan cara jemput bola. 

Sekolah melakukan sosialisasi dan promosi sekolah mereka dengan berkunjung ke SD atau MI, berdialog langsung dengan siswa maupun orang tua siswa dalam suatu pertemuan. Cara lainnya adalah melakukan kunjungan rumah. Hal yang sudah jamak dilakukan, terutama di sekolah pinggiran. Panitia PPDB mendatangi rumah siswa. Dengan mantaati protokol Kesehatan, panitia melakukan promosi dan sosialisasi PPDB door to door. 

Dari sekian banyak permasalahan harapannya adalah pemerintah  hendaknya memastikan pemerataan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana sekolah, utamanya terkait perangkat IT.  Tanpa disertai upaya tersebut, tujuan sistem zonasi menciptakan pemerataan mutu pendidikan dan hak mendapatkan pendidikan yang adil akan mustahil tercapai. 

Selain itu, upaya penyadaran masyarakat tentang sistem zonasi PPDB online agar asumsi pemasungan “hak” hendaknya terus dilakukan. Tidak lagi ada pemikiran bahwa sistem zonasi merupakan pembatasan hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Jika pandangan tersebut lenyap dari masyarakat maka tujuan mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga peserta didik dapat terwujud dan sistem ini dapat menghapus paradigma “sekolah unggulan” yang selama bertahun-tahun menciptakan kesenjangan layanan Pendidikan(Didik Subagyo).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama